Ada beberapa problem kesehatan dalam waktu yang tak jauh berbeda, seperti penyakit antraks pada hewan, flu burung, heboh zat pengawet formalin, keracunan, busung lapar, dan sebagainya.
Salah satu upaya menghadapi persoalan kesehatan tersebut, yakni back to basic. Atau sering di sebut back to nature. Kini, makanan dan minumam yang sifatnya radisional “tergeser” dari tengah kehidupan masyarakat perkotaan, bahkan telah sampai pula di pedesaan. Anak-anak jaman sekarang cenderung agak sulit mengenal makanan khas suatu daerah di perkotaan. Mereka baru mengetahui, mengenal, dan menikmati makanan tradisional tatkala mudik ke suatu daerah tertentu.
Prinsip back to nature ini pada hakikatnya, merupakan wujud lain dari back to basic. Maksudnya manusia kini cenderung kembali ingin meraih hal-hal yang esensial sebagaimana dulu para nenek moyang sempat mengenyamnya. Ingin memakan makanan dan meminum minuman yang terbebas dari zat pengawet dan zat pewarna, serta menikmati udara tanpa polusi.
Fenomena pergeseran minat masyarakat terhadap obat-obatan herbal, dapat diketahui pula ketika berada disejumlah tempat di luar negeri, seperti di Singapura, dan Malaysia. Di beberapa tempat di Singapura dan Malaysia, kita bisa secara mudah menemui makanan dan minuman khas dari jenis ginseng. Di Ghuang Zho dan beberapa kota di RRC, juga mudah ditemui obat-obatan herbal.
Alhasil, dikenalah istilah herbal atau tanaman obat. Sayangnya, potensi herbal Indonesia belum tergali secara optimal. Hingga kini Indonesia baru memiliki lima fitofarmaka (obat dari bahan alam yang telah melalui uji klinis). Salah satunya adalah stimuno yang berkhasiat menjaga dan meningkatkan system imun tubuh (imunomodulator).
Untuk itulah, perlu ada komitmen dan kerja sama diantara pihak-pihak terkait agar mampu melipatgandakan eksistensi fitofarmaka. Jika saat ini baru ada lima fitofarmaka, diharapkan dalam waktu dekat ada puluhan bahkan ratusan fitofarmaka.