Tini Toon



Sebagai perusahaan go public, implementasi good corporate governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik, merupakan kebutuhan mu tlak bagi PT. Bank Capital Indonesia, Tbk (Bank Capital). Selain untuk menjaga kesinambungan bisnis Bank Capital dalam jangka panjang, pengimplementasian GCG juga mutlak harus dilakukan dalam rangka pe menuhan hak dan tanggungjawab Bank Capital kepada seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas yang dikuasi masyarakat berdasarkan 5 (lima) prinsip dasar GCG, yakni transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan sesuai dengan anggaran dasar perusahaan. Bank Capital sangat menyadari bahwa GCG merupakan perangkat utama yang mengatur dan mengarahkan kegiatan perusahaan dalam tata hubungan antara karyawan, Direksi, Dewan Komisaris,pemegang saham, dan para pemangku kepen tingan (stakeholders) lainnya. Dengan demikian, bagi Bank Capital, pemenuhan prinsip-prinsip GCG merupakan bagian untuk membangun fondasi bisnis yang sehat. Untuk mengupayakan sistem perbankan yang sehat dan kuat sebagaimana komitmen Dewan Komisaris dan Direksi, Bank Capital berkeya kin an bahwa penerapan prinsip-prinsip GCG me ru pakan salah satu prasyarat mutlak dalam proses transformasi tersebut. Di samping itu, se laku perusahaan terbuka, penerapan prinsip GCG se cara baik dapat meningkatkan kepercayaan in vestor, sekaligus merupakan nilai tambah bagi para pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Seiring dengan berkembangnya bisnis bank dan perubahan-perubahan dalam bisnis perbankan baik secara nasional maupun global, dan persaingan yang semakin ketat pada industri perbankan, maka Bank Capital harus menyiapkan antisipasi melalui perbaikan dan penyesuaian secara terus menerus. Dengan demikian, Bank Capital dapat menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan mampu memberikan nilai tambah bagi Bank Capital dan sistem perbankan secara keseluruhan.

Hasil Self Assessment
Penilaian GCG yang dilakukan Bank Capital adalah melalui metode self assessment sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Bank Indonesia. Hasil penilaian GCG melalui metode self assessment Bank Capital pada 2011, secara komposit  enghasilkan predikat baik dengan kecenderungan semakin membaik dari tahun ke tahun.

Kebijakan GCG
Saat ini Bank Capital telah memiliki kerangka kebijakan dan panduan tata kelola perusahaan yang komprehensif dan telah diterapkan sejalan dengan upaya manajemen dalam melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik. Beberapa prinsip dan praktik terbaik (best practices) GCG telah diimplementasikan, sehingga diharapkan dapat memberi manfaat optimal bagi Bank Capital, pemegang saham, maupun pihak-pihak berkepentingan lainnya.

Pelaksanaan GCG
Implementasi GCG yang telah dilaksanakan Bank Capital sebagai berikut:
·         Prinsip-prinsip transparansi (transparency – dengan selalu memperhatikan rahasia bank, rahasia jabatan dan hak-hak pribadi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku), akuntabilitas (accountability), tanggung jawab (responsibility), independensi (independency), kewajaran (fairness) dan kehati-hatian (prudent) dalam pengelolaan bank.
·         Praktik-praktik untuk meningkatkan kinerja bank, efisiensi, dan pelayanan kepada stakeholders dan pemegang saham.
·         Praktik-praktik untuk meningkatkan minat dan kepercayaan investor.

Laporan Pelaksanaan GCG
Pelaksanaan GCG pada Bank Capital juga ditunjukan dengan penyampaian laporan keuangan kepada Bank Indonesia (BI), Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK), dan Bursa Efek Indonesia (BEI), serta  emberikan informasi laporan keuangan Bank Capital kepada publik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Praktiknya, implementasi GCG di Bank Capital berpedoman pada ketentuan BI yang meliputi:
          Pemenuhan komposisi Dewan Komisaris dan Direksi beserta pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya;
          Kelengkapan dan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab komite-komite yaitu KomiteAudit, Komite Pemantau Risiko, dan Komite Remunerasi dan Nominasi;
          Pelaksanaan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstern;
          Pelaksanaan fungsi manajemen risiko;
          Pemenuhan ketentuan BI terkait dengan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana kepada
          pihak terkait dan debitur besar;
          Penyusunan rencana strategis Bank sesuai dengan ketentuan ketentuan mengenai Rencana Bisnis Bank;
          Pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan non keuangan;
          Penyusunan Pedoman Kerja Dewan Komisaris dan Direksi;
          Penetapan Visi, Misi dan Nilai Budaya Kerja Perusahaan;
          Penunjukkan Direktur Kepatuhan dan pembentukan Satuan Kerja Audit Intern, dan Satuan Kerja Manajemen Risiko.

Melalui pelaksanaan prinsip-prinsip GCG, pada akhirnya diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap Bank Capital, pemegang saham, maupun para pemangku kepentingan lainnya. Manfaat tersebut adalah: meningkatnya kesungguhan manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip GCG yang meliputi keterbukaan, akuntabilitas; tanggung jawab, independensi, kewajaran, dan kehati-hatian dalam pengelolaan Bank; meningkatnya kinerja, efi siensi, dan pelayanan kepada stakehoders; mempermudah perolehan dana pembiayaan yang lebih murah, yang pada akhirnya akan meningkatkan shareholders’ value; meningkatnya minat dan kepercayaan investor; terlindungnya Bank Capital dari intervensi eksternal dan tuntutan hukum; dan mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Mekanisme GCG
Mekanisme GCG di Bank Capital ditunjukkan dengan pemisahan yang jelas antara mekanisme pengambilan keputusan penting yang tertinggi pada Bank, mekanisme pengelolaan, dan mekanisme pengawasan. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah mekanisme utama dan elemen organisasi tertinggi yang dipakai Bank Capital dalam mengambil keputusan penting bagi Bank Capital sesuai dengan Anggaran Dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  pengelolaan bank dilakukan oleh Direksi, dan mekanisme pengawasan terhadap kinerja pengelolaan bank dilakukan oleh Dewan Komisaris.

Struktur GCG
Secara struktural, sejalan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku, dan sejalan de ngan ketentuan GCG di perbankan dan pasar modal, elemen-elemen pelaksana GCG di Bank Capital terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi. Masing masing elemen tersebut telah menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing sesuai dengan aturan yang berlaku secara independen, dan bertanggjungjawab untuk meningkatkan kinerja Bank dan mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tidak mengabaikan kepentingan stakeholder lainnya



SUMBER : BANK CAPITAL ANNUAL REPORT 2011

Read More …

Good Corporate Governance (selanjutnya disingkat “GCG”) adalah suatu tata kelola perusahaan yang berlandaskan pada lima prinsip dasar yaitu :
  • Keterbukaan (transparency) yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang materiil dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan.
  • Akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban, sehingga pengelolaannya dapat berjalan secara efektif.
  • Pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan perusahaan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dan prinsip prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
  • Independensi (independency) yaitu pengelolaan perusahaan secara professional tanpa pengaruh dan tekanan dari pihak manapun.
  • Kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Sejalan dengan kebijakan tersebut, peningkatan kualitas pelaksanaan GCG merupakan salah satu upaya untuk memperkuat ketahanan internal Bank sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (selanjutnya disingkat “API”). Selaras dengan Peraturan Bank Indonesia (selanjutnya disingkat “PBI”) No.8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum dan PBI No.8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas PBI No.8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum (selanjutnya disingkat “PBI GCG”) serta Surat Edaran Bank Indonesia (selanjutnya disingkat “SEBI”) No.9/12/DPNP tanggal 30 Mei 2007 perihal  Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum dan PBI No.13/2/PBI/2011 tanggal 12 Januari 2011 tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum (selanjutnya disebut “PBI Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum”), Bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip GCG dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. Penerapan GCG di PT Bank ICB Bumiputera Tbk (selanjutnya disebut “Bank ICB Bumiputera” atau “Bank”) diawali dengan proses internalisasi untuk memperoleh pemahaman yang sama di seluruh jajaran manajemen dan karyawan Bank tentang pentingnya penerapan GCG di masing-masing unit kerja, untuk kemudian diikuti dengan penerapannya secara konsisten. Langkah selanjutnya adalah dengan menetapkan struktur organisasi termasuk pembentukan komite-komite, menempatkan pejabat-pejabat yang kompeten dibidangnya, pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas serta adanya komitmen dari masing-masing pejabat tersebut. Dengan pelaksanaan praktek-praktek perbankan yang sehat yang berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada gilirannya dapat menumbuhkan suatu perilaku dan kebiasaan yang mencerminkan budaya GCG. Dalam rangka meningkatkan kinerja Bank, melindungi kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder) dan  eningkatkan kepatuhan Bank terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menerapkan nilai-nilai etika yang berlaku pada industri perbankan, Bank meyakini perlunya diimplementasikan prinsip prinsip GCG secara konsisten dan berkesinambungan. Bank terus berusaha meningkatkan kualitas dan standar penerapan GCG secara terus menerus dan berkelanjutan. Menjadi tekad dari seluruh manajemen dan karyawan untuk menjadikan Bank ICB Bumiputera sebagai salah satu bank yang menerapkan tata kelola perusahaan yang baik.

Pelaksanaan GCG Bank ICB Bumiputera
Pelaksanaan GCG meliputi 7 (tujuh) aspek cakupan GCG beserta kepatuhan Bank terhadap
aspek aspek tersebut yang meliputi :
I. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi.
II. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite.
III. Penerapan fungsi kepatuhan, auditor intern dan auditor ekstern.
IV. Penerapan Manajemen Risiko termasuk sistem pengendalian intern.
V. Penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan penyediaan dana besar (large exposure)
VI. Rencana strategis Bank
VII. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank.



Sumber : Bank ICB Bumiputera Annual Report 2011









Read More …

Basel capital accord merupakan seperangkat peraturan yang dirancang untuk menjaga industri perbankan pada suatu negara agar tetap bisa berjalan dan terkelola dengan baik. Dimulai dengan pembentukan The Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) pada tahun 1974 oleh Gubernur Bank Sentral negara-negara G-10 dan mengeluarkan aturan International Convergence of Capital Measurement and Capital Standards atau Basel I yang diimplementasikan pada perbankan Indonesia pada tahun 1992. Basel I mensarikan adanya benang merah antara risiko bisnis dan modal yang harus disediakan Bank untuk mengantisipasi risiko tersebut.
 
Basel I adalah suatu istilah yang merujuk pada serangkaian kebijakan bank sentral dari seluruh dunia yang diterbitkan oleh Komite Basel pada tahun 1988 di Basel, Swiss sebagai suatu himpunan persyaratan minimum modal untuk bank. Hal ini juga dikenal sebagai Basel Accord 1988 Rekomendasi ini dikukuhkan dalam bentuk aturan oleh negara-negara Group of Ten (G10) pada tahun 1992. Basel I secara umum telah ditinggalkan dan digantikan oleh himpunan pedoman yang lebih komprehensif, yang disebut Basel II, yang sedang diterapkan oleh beberapa negara.
 
Basel I hanya terfokus pada antisipasi atas risiko kredit dari kegagalan bisnis yang dilakukan oleh bank sementara perkembangan dalam sistem keuangan dan perbankan menunjukkan bahwa banyak Bank yang gagal atau tutup diakibatkan oleh risiko pasar, operasional maupun jenis risiko lainnya.
 
Basel I terutama difokuskan pada risiko kredit . Aset bank diklasifikasikan dan dikelompokkan dalam lima kategori menurut risiko kredit, membawa bobot risiko nol (untuk negara misalnya rumah utang negara ), sepuluh, dua puluh, lima puluh, dan sampai seratus persen (kategori ini, sebagai contoh, sebagian besar utang perusahaan). Bank dengan kehadiran internasional wajib memiliki modal sebesar 8% dari aktiva tertimbang menurut risiko. Penciptaan credit default swap yang setelah Exxon Valdez insiden membantu bank-bank besar risiko lindung nilai pinjaman dan memungkinkan bank untuk menurunkan risiko mereka sendiri untuk mengurangi beban berat pembatasan ini.
 
Sejak tahun 1988, kerangka kerja ini telah diperkenalkan secara progresif di negara-negara anggota G-10, saat ini terdiri dari 13 negara, Kerajaan dan Amerika Serikat .
Sebagian besar negara lainnya, saat ini berjumlah lebih dari 100, juga telah diadopsi, setidaknya dalam nama, prinsip-prinsip yang ditentukan di bawah Basel I. efisiensi dengan yang mereka diberlakukan bervariasi, bahkan dalam negara-negara dari Kelompok Sepuluh.


Basel II adalah rekomendasi hukum dan ketentuan perbankan kedua, sebagai penyempurnaan Basel I, yang diterbitkan oleh Komite Basel. Rekomendasi ini ditujukan untuk menciptakan suatu standar internasional yang dapat digunakan regulator perbankan untuk membuat ketentuan berapa banyak modal yang harus disisihkan bank sebagai perlindungan terhadap risiko keuangan dan operasional yang mungkin dihadapi bank.
Basel II sebagai acuan pelaksanaan manajemen risiko bagi perbankan internasional merupakan suatu hasil dari evolusi regulasi perbankan dunia.
 
Dengan demikian, salah satu muatan utama dalam Basel II adalah merumuskan kembali perhitungan ATMR sehingga dapat lebih akurat mengukur risiko yang dimiliki oleh sebuah bank secara lebih komprehensif baik dari sisi risiko kredit, pasar maupun operasional.

Secara singkat, dari sisi nasabah, Basel II bisa diartikan sebagai salah satu bentuk regulasi perlindungan konsumen untuk memastikan bahwa nasabah menempatkan dana pada bank yang aman. Aman disini antara lain memiliki pengertian: Bank tidak seenaknya/serampangan dalam menyalurkan kredit, memiliki perhitungan yang memadai untuk mengantisipasi pergerakan indikator pasar keuangan, atau tidak melakukan kesalahan-kesalahan operasional yang bisa merugikan bank maupun nasabah.
 
Secara tidak langsung ini menegaskan bahwa semakin besar risiko yang dihadapi bank, semakin besar pula jumlah modal yang dibutuhkan bank untuk menjaga likuiditas bank tersebut serta stabilitas ekonomi pada umumnya.
 
Basel II mengusung konsep "tiga pilar" yaitu persyaratan modal minimum, tinjauan pengawasan, serta pengungkapan informasi. Basel I sebelumnya hanya memperhatikan sebagian dari masing-masing pilar ini. Misalnya, Basel I hanya memperhitungkan risiko kredit secara sederhana, mempertimbangkan sedikit risiko pasar, serta sama sekali tidak menangani risiko operasional.
 
Pilar pertama berkaitan dengan pemeliharaan persyaratan modal (regulatory capital) yang diperhitungkan untuk tiga komponen utama risiko yang dihadapi bank: risiko kredit, risiko pasar, serta risiko operasional. Jenis risiko lain tidak dianggap layak diperhitungkan pada tahap ini.
 
Risiko kredit dapat dihitung dengan tiga cara yang berbeda tingkat kerumitannya, yaitu pendekatan standar (standardized approach), Foundation IRB (internal rating-based), dan Advanced IRB. Risiko operasional dihitung dengan tiga pendekatan yaitu pendekatan dasar (basic indicator approach, BIA), pendekatan standar (standardized approach, STA), serta advanced measurement approach (AMA). Sedangkan pendekatan yang biasanya dipilih untuk perhitungan risiko pasar adalah pendekatan VaR (value at risk).
 
Pilar kedua menangani tanggapan pengawasan terhadap pilar pertama yang memberikan perkakas lanjut bagi pengawas. Pilar ini juga memberikan suatu kerangka kerja untuk menangani semua risiko lain yang mungkin dihadapi bank, seperti risiko sistemik, risiko pensiun, risiko konsentrasi, risiko strategik, risiko reputasi, risiko likuiditas, serta risiko hukum, yang digabungkan menjadi risiko residu.
 
Pilar ketiga memperbesar pengungkapan yang harus dilakukan bank. Ini dirancang untuk memberikan gambaran yang lebih baik bagi pasar mengenai posisi risiko menyeluruh bank dan untuk memberikan kesempatan bagi pihak terkait dari bank untuk memberikan harga dan menangani risiko tersebut dengan sepantasnya.

sumber :
http://inrisk.blogspot.com/2012/05/basel-ii-di-indonesia.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Basel_II
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Implementasi+Basel+II/Dokumentasi+Basel+II/basel1.htm
http://aullua.wordpress.com/2012/01/02/basel-1-dan-2/
http://id.wikipedia.org/wiki/Basel_I
Read More …